Minggu, 09 Oktober 2011

kerajinan

Karya Seni Bernilai Tinggi Dari Kertas Koran Rambah Perancis
Kamis, 20 Mei 2010 11:32
Lintas Berita
E-mail Cetak PDF

Kata limbah biasanya berasosiasi sesuatu yang sudah tidak berguna lagi, bahkan menjijikkan, kumuh. Namun, tidak demikian dengan yang satu ini. Limbah koran, atau koran bekas, setelah disentuh tangan-tangan terampil, ternyata bisa menjadi hasil karya yang bernilai seni tinggi. (foto: google)

Kata limbah biasanya berasosiasi sesuatu yang sudah tidak berguna lagi, bahkan menjijikkan, kumuh. Namun, tidak demikian dengan yang satu ini. Limbah koran, atau koran bekas, setelah disentuh tangan-tangan terampil, ternyata bisa menjadi hasil karya yang bernilai seni tinggi. (foto: google)
Dari bahan baku yang sangat sederhana itu, bisa dihasilkan aneka macam kerajinan yang unik dan fungsional. Seperti vas kotak besar, lemari mini, kotak tissue, vas kecil, bingkai foto, jam meja, kap lampu, dan aneka macam tas. Dari sekian banyak produk yang dihasilkan, vas bunga dan tempat buah paling banyak diminati konsumen. (foto: google)

(foto: google)

(foto: google)

(foto: google)

Sebelumnya
1 of 5
Berikutnya

Kata limbah biasanya berasosiasi sesuatu yang sudah tidak berguna lagi, bahkan menjijikkan, kumuh. Namun, tidak demikian dengan yang satu ini. Limbah koran, atau koran bekas, setelah disentuh tangan-tangan terampil, ternyata bisa menjadi hasil karya yang bernilai seni tinggi.

Banyak usaha kecil yang memanfaatkan dan mengolah limbah yang berasal dari lingkungan di sekitar kita. Salah satunya adalah pemanfaatan limbah kertas koran. Hal itulah yang dijalani Burhan Gatot, pria asal Solo, Jawa Tengah, dengan membuat kerajinan yang diberi label Dipik Craft.

Awalnya Gatot menjalani usaha tersebut hanya dari rasa iseng setelah melihat begitu banyak limbah kertas koran. Sekitar awal Maret 2007 ia pun mulai menekuninya dengan serius hingga memberanikan diri mengikuti berbagai pameran.

Dari bahan baku yang sangat sederhana itu, bisa dihasilkan aneka macam kerajinan yang unik dan fungsional. Seperti vas kotak besar, lemari mini, kotak tissue, vas kecil, bingkai foto, jam meja, kap lampu, dan aneka macam tas. Dari sekian banyak produk yang dihasilkan, vas bunga dan tempat buah paling banyak diminati konsumen.

Kini, di tengah bayang-bayang hantaman krisis global, Gatot mempunyai kiat agar usahanya bisa bertahan, antara lain ketekunan serta senantiasa memberdayakan masyarakat sekitar. Jangkauan pasar pun memaksimalkan potensi dalam negeri.

Ternyata, usaha ini tidak sekadar membuat berbagai macam kerajinan lalu menjualnya, tapi juga membuka kerja sama untuk melakukan pelatihan. Di antaranya dengan memberdayakan anak putus sekolah dan ibu-ibu rumah tangga di sekitarnya.

Sedangkan bagi Siti Aminah SKom, 38, warga RT 03/RW IX Kelurahan Kadipiro, Banjarsari, Solo ini, limbah koran bisa disulap menjadi aneka macam tas, tempat handphone, guci, kap lampu, keranjang, pot, juga perabot rumah tangga seperti meja, dsb.

Menurut Siti, ide ini awalnya sederhana. Ketika dia sedang memegang sobekan kertas koran dan melinting-lintingnya, kebetulan melihat orang membawa rotan yang dijadikan perabot rumah tangga. Di benaknya langsung terpikirkan bahwa koran ini pun bisa dibuat seperti rotan.

Benarlah... Setelah lintingan-lintingan itu dianyam, memang bisa dibuat menjadi berbagai macam bentuk. "Awalnya saya bikin tas tempel. Pewarnaannya pun dari teres, finishing pakai pernis. Tapi itu dulu. Sekarang yang seperti itu tak laku dijual," tuturnya.

Ketika awak koran ini mengunjungi kediaman Siti yang lulusan sarjana komputer tapi menggeluti kerajinan ini, tampak seorang pengrajin sedang menganyam lintingan-lintingan koran. Miah Solihah, 45, dengan telatennya membuat tas dari limbah koran itu. Miah salah satu pengrajin yang masih kerabat Siti. Pengrajin lainnya tersebar di wilayah Kelurahan Kadipiro. Bahkan ada anggota kelompoknya dari luar Kadipiro, yakni dari Pucangsawit dan Jajar.

Banyak pesanan

Oleh karena itu, kini, Siti telah membentuk kelompok usaha yang aggotanya lebih dari 40 orang. Semua kaum ibu. Oleh Lurah Kadipiro Hendro Pramono, kompleks ini dinyatakan sentra kerajinan limbah koran. Masing-masing anggota juga mempunyai anak asuh, sehingga sentra ini mempunyai jaringan yang luas.

Dikisahkan, ide ini muncul pada 2007. Kemudian dia mencari literatur dari buku, majalah, internet, dsb, hingga diketahui sifat-sifat kertas koran. Dari situlah kemudian dia menggelutinya. Awalnya sendirian, pemasarannya pun terbatas. Kini pengrajinnya banyak, tapi kewalahan karena banyaknya pesanan.

Dia mengaku sangat tertolong dengan bantuan Disperindag karena diikutsertakan menjual hasil karyanya di Ngarsopuran. Dari situlah kemudian banyak yang memesannya. Banyak pula yang minta diajari. Sehingga, Siti tidak hanya mengajari warga Kadipiro, tapi juga ibu-ibu PKK berbagai kelurahan.

Hasil karya kelompok usahanya telah mendapat sorotan. Bahkan petugas Disperindag pernah ada yang mengkritik. "Kalau menggunakan bahan pewarna melamin, buang saja, karena tak akan laku diekspor," katanya menirukan ucapan petugas.

Memang, diakuinya, pewarna yang menggunakan melamin, hasilnya lebih bagus, warna lebih kuat, tajam. Tapi tak laku. Akhirnya sekarang menggunakan bahan alami. Untuk warna kekuningan dibuat dari kulit manggis, warna merah dari daun jati, cokelat dari tingi dan kulit pohon mahoni. "Kalau bahan-bahan ini habis, kadang terpaksa menggunakan pewarna tekstil."

Untuk yang dari bahan alami, warna cenderung soft. Sedangkan yang menggunakan pewarna tekstil cenderung ngejreng. "Yang pasti tidak lagi menggunakan melamin."

Urutan pembuatan: 1. Koran diguntingi. 2. Dilinting. 3. Dianyam. 4. Finishing. 5. Dipasarkan. Untuk pemasaran, selain di Soloraya juga Semarang, Yogyakarta, Jakarta, Denpasar Bali, dan hampir semua kota-kota besar di Indonesia. Sedangkan ke luar negeri antara lain ke Maroko, dan bulan ini akan ke Prancis. Sekali kirim sekitar 500 produk.

Jika kita mau berusaha, apa pun bisa dilakukan dan berguna bagi lingkungan. Tak terkecuali dengan sampah, jika dimanfaatkan dengan keterampilan tertentu, ternyata bisa menghasilkan uang.

Lihat saja beragam kerajinan kap lampu, miniatur sepeda, vas bunga, dan baki lamaran yang dipamerkan Kreativitas Seni Saung EGP pada acara Pekan Kerajinan Jawa Barat (PKJB) di Graha Manggala Siliwangi Bandung sejak Rabu (23/12) hingga Minggu (27/12). Jika dilihat sekilas, mungkin tak ada yang menyangka bahwa beragam produk yang mewakili Kabupaten Majalengka itu berbahan dasar sampah.

Ya, memang benar-benar hanya sampah kertas koran, kertas majalah, serta jenis kertas sisa lainnya. Namun, sampah-sampah kertas itu di tangan Jalu, sang pemilik ide kreatif di Saung EGP, dapat menjadi produk yang indah dan berguna dalam kehidupan sehari-hari.

Jalu, yang berlatar belakang pendidikan di bidang ekonomi, memang suka usil mengutak-atik benda-benda di sekitarnya. Produk limbah kertas yang dijual dengan kisaran harga Rp 30 ribu hingga Rp 200.000 itu pun ternyata buah dari keusilan Jalu.

"Inspirasinya karena memang saya suka jail dan usil. Saya sering iseng-iseng membuat kerajinan dan ternyata kertas itu sangat mudah diutak-atik sehingga akhirnya menjadi barang kerajinan seperti ini," katanya.

Pemilihan sampah kertas, lanjut Jalu, merupakan satu bentuk kepeduliannya terhadap lingkungan. Selain sampah kertas terbilang mudah dijumpai, ternyata kepekaan Jalu terhadap isu pemanasan global juga menjadi alasan yang mendasari pemilihan kertas sebagai bahan dasar kerajinannya.

"Dapat ide buat kerajinan dari kertas karena kebetulan di sekitar saya banyak kertas. Dulu pernah bikin kerajinan pakai plastik, tapi terbentur masalah bahan. Kertaskan ada di mana-mana, jadi mudah mendapatkannya. Selain itu, saya juga punya misi cinta lingkungan. Kertas itu limbah yang ramah lingkungan. Terkait isuglobal warming, kita juga ingin bersahabat dengan alam. Itulah sebabnya saya memilih bahan yang ramah lingkungan," ujar Jalu.

Industri kerajinan kertas milik Jalu ini ternyata juga mampu memberdayakan masyarakat kompleks Cimanuk Hulu, Desa Liangjulang, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Majalengka. Bagaimana tidak, industri kerajinan miliknya ternyata mampu memproduktifkan setidaknya 54 orang di sekitar rumahnya. Keterlibatan pemuda, pemudi, dan ibu-ibu di sekitar rumahnya bisa dibilang telah memberikan kesempatan bagi warga di sekitarnya untuk menghasilkan hasil kerajinan yang bernilai ekonomi.

"Semua orang bisa terlibat karena prosesnya sangat mudah. Orang-orang yang tidak memiliki bakat seni pun sebenarnya bisa membuat kerajinan seperti ini. Bahkan saya pernah mengajari anak-anak SLB di daerah saya, ternyata mereka pun bisa," kata Jalu.

Untuk membuat hasil kerajinan itu memang tidak terlalu rumit. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah melinting kertas koran atau kertas lain menjadi lintingan-lintingan kecil berukuran panjang sekitar 20 cm. Selanjutnya, lintingan-lintingan kertas tersebut dirangkai sedemikian rupa sehingga menjadi rangka, baik rangka vas bunga, tempat lampu, baki lamaran, maupun miniatur sepeda.

Untuk merekatkan kertas serta memperkokoh rangka, lintingan-lintingan kertas di lem dengan lem khusus. Setelah rangka terbentuk, tinggal melengkapi rangka dengan menganyam lintingan kertas atau bisa pula dilengkapi dengan tambahan hiasan yang juga berbahan dasar kertas sebagai penyempurna bentuk. Tahap paling akhir adalah pengecatan dengan cat tembok berwarna cokelat atau pernis untuk menutupi warna asli kertas sehingga menjadikan barang-barang kerajinan terlihat lebih menarik.

"Kalau warna lain hasilnya nggak terlalu bagus. Yang paling bagus warna cokelat dan pernis. Jadi tidak kelihatan bahan kertasnya serta terlihat warna alami seperti kayu," kata Yana, seorang anggota Karang Taruna Kompleks Cimanuk Hilir yang bergabung dalam Saung EGP.

Untuk membuat satu buah barang hasil kerajinan ini pun terbilang tidak banyak memerlukan bahan. Untuk setiap barang kerajinan, kap lampu berukuran setengah meter misalnya, rata-rata diperlukan 150 lintingan kertas (setiap satu lembar kertas koran dapat menghasilkan empat lintingan kertas) sehingga tanpa perlu banyak menghabiskan kertas pun satu buah produk kerajinan sudah dapat dihasilkan.

Omzet dari kerajinan berbahan sampah kertas ini pun cukup menggiurkan. Dari 500 hasil kerajinan yang dihasilkan anak-anak Saung EGP dalam satu bulan, setidaknya hasil bersih yang dikantongi bisa mencapai Rp 6 juta.

"Dalam satu hari bisa saja menghasilkan rata-rata 15 buah. Per itemnya kami jual dalam harga yang beragam mulai dari Rp 30.000 hingga Rp 200.000. Tergantung ukuran dan tingkat kesulitan membuatnya," kata Jalu sembari menambahkan hingga saat ini produknya telah dipasarkan di berbagai daerah di luar Jawa Barat, seperti Batam dan Makassar. (fn/lp/su/tb) www.suaramedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar